Falsafah Huma Betang

 

Falsafah Huma Betang

 


Menurut KBBI filsafah/falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki orang atau masyarakat; pandangan hidup. Filsafah Huma Betang adalah salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya Huma Betang di Implementasikan serta hadir dalam kehidupan sosial masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah yang termasuk keluarga dekatnya. Falsafah ini dilahirkan untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan dan sangat berisi akan nilai-nilai yang menyangkut kearifan local yang dikenal sebagai Huma Betang, kata Guru Besar Universitas Palangkaraya (UNPAR) Prof. Dr. H. Norsanie Darlan.

Masyarakat Dayak hadir dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda-beda disetiap daerahnya mulai dari pusatnya Palangkaraya sampai kabupaten terujung yaitu Puruk Cahu. Sebagai salah satu anak yang lahir dan besar di Kalimantan Tengah saya mengetahui bagaimana masih kentalnya kehadiran nilai-nilai adat serta budaya yang berakar dan bersifat turun-menurun baik itu yang bersifat pribadi, kelompok juga masyarakat sekitar.

Prosesi ada yang bersifat pribadi contohnya ketika saya berunjung ke rumah warga umumnya saya akan disambut dengan sebuah piring yang diatasnya berupa kapur dan sirih. Sirih disini menjadi lambang kebersamaan dan menjadi tanda bahwa tuan rumah menjamu tamunya dengan baik, prosesi adat yang mencakup ruang kelompok seperti dalam kehidupan masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah sangat percaya juga menjunjung adat yang dianut sebagai bagian yang tidak terlepaskan karena sudah menjadi darah daging serta nafas bagi kami. Yang pada akhirnya lahirnya 4 pilar filsafah Huma Betang yaitu; kejujuran, kebersamaan, kerukunan, taat hukum dan agama.

Huma Betang atau jika diartikan Rumah Betang sendiri merupakan rumah ada khas yang berasal dari Kalimantan Tengah yang memiliki berbagai keunikan mulai dari bentuknya yang memanjang karena hal tersebut maka pada umumnya Rumah Betang dihuni oleh lebih dari sepuluh kepala keluarga dan mereka tinggal didalam satu rumah secara Bersama-sama. Kini jumlah Rumah Betang di Kalimantan Tengah terus berkurang. Salah satu rumah Betang yang masih digunakan sebagai tempat hunian adalah rumah Betang Buntoi yang terletak di Pulang Pisau, Kecamatan Kahayan Hilir, desa Buntoi dan juga yang bertempat di Palangkaraya serat Barito Utara.

Keberadaan Huma Betang secara disadari maupun tidak telah menjadi faktor utama yang menyebabkan tumbuhnya berbagai nilai-nilai kehidupan yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Dayak yang masih tinggal di rumah Betang maupun yang sudah tidak tinggal di rumah Betang.

Pada zaman dahulu rumah Betang memang sengaja dibuat tinggi dan memiliki penopang yang jauh dari tanah bertujuan agar penghuni rumah aman dan terhindar dari banjir dan juga hewan-hewan buas yang pada zaman dahulu jumlahnya sangat banyak seperti harimau namun seiring zaman rumah Betang mulai ditinggalkan seiring berkurangnya populasi hewan buas dan juga mahalnya biaya pembangunan sebuah rumah Betang yang berbahan dasar kayu Ulin yang kini mulai sukar untuk dijumpai dan butuh proses yang sangat lama jika ingin menanamnya.

Penulisan dan penelitian ini yang saya lakukan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi untuk melestarikan nilai-nilai yang terkandung didalam rumah Betang yang terjadi di masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah umumnya dan Barito Utara Khususnya yang merupakan tempat saya tinggal serta menjadi objek penelitian saya. Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik, interaksi sosial dan teori pewarisan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan pendekatan etnografi. Pengumpulan data diperoleh dengan cara mengunjungi rumah Betang yang ada di kota saya bertempat di Stadion Swakarya. Dengan mengunjunginya saya mengetahui bagaimana bentuk sebenarnya dari rumah Betang, apa saja keunikannya, apa yang membuatnya begitu historical dan bagaimana rasanya tinggal di rumah Betang tersebut selama satu hari.

Selama berada di rumah Betang tersebut saya menyadari bahwa ternyata bukan saja rumahnya yang sangat unik dan menarik tetapi juga penghuni dan orang-orang yang ada didalam rumah tersebut membuat saya kagum juga betah berada di sana. Untuk menambah keakuratan dari observasi saya, saya memutuskan untuk pergi mengunjungi warga yang ada di desa Malawaken yang berjarak 15 Km dari kota Barito Utara. Saya mengunjungi rumah salah satu sahabat saya yang ada di sana dan bertemu dengan penetua daerah tersebut untuk berbincang mengenai filsafah Huma Betang.

Dalam percakapan tersebut ditemukan bahwa Huma Betang sendiri bukan hanya sebuah rumah tetapi juga menunjukan bahwa nilai-nilai yang ada di dalamnya menyangkut kehidupan yang berkembang di dalam sebuah arti rumah Betang yang mencakup; nilai untuk hidup saling tolong-menolong, rukun, saling menjaga keamanan dan pertahan serta saling serta saling menghargai dan memberi kebebasan beragama. Filsafah Huma Betang pada masa sekarang tidak hanya berupa sebuah kesepakatan kosong, tetapi juga dapat dirasakan kehadiran dan bukti nyatanya. Salah satu contohnya yaitu ketika proses pembuatan sebuah rumah Betang, umumnya sang Tuan rumah akan mengajak tetangganya untuk turut serta membantu juga hadir dalam prosesi pembuatannya baik itu dari awal pengerjaan ataupun ketika selesai dan biasanya akan diadakan sebuah acara syukuran di rumah tersebut dan didalam keanekaragaman yang ada di sana saya merasakan bahwa perbedaan itu ternyata indah, karena itulah yang menjadikan kehidupan masyarkat Dayak begitu damai dan rukun seperti sekarang ini.

Adapun dalam proses komunikasi yang terjadi dalam masyarakat Dayak sebagai upaya melestarikan nilai-nilai tersebut adalah dengan melalui proses enkulturasi dan sosialisai lalu kemudian pesan-pesan tersebut disampaikan symbol bahasa verbal (bahasa) dan nonverbal (kebudayaan) dengan cara interaksi simbolik. Salah satu contoh interaksi verbal yaitu komunikasi yang terjadi ketika saya disana menggunakan bahasa Dayak dusun yang bagi orang awam sulit sekali dimengerti dan butuh waktu yang cukup lama jika ingin belajar dan mengerti dari arti satu persatu kata dan komunikasi nonverbal yang saya jumpai kala itu adalah ritual Balian di kalangan masyarakat Dayak Kalteng sebenarnya lebih dipercaya sebagai sarana komunikasi warga suku Dayak dengan para leluhur atau nenek moyang.

Ritual ini menggunakan peran seorang Bashir dalam mengkomunikasikan hajat warga suku Dayak yang berkepentingan dalam ritual Balian tersebut. Dalam ritual Balian tersebut terdapat sebuah proses komunikasi ritual didalamnya. Mulai dari pernak-pernik, sesaji, music pengiring, tarian yang menjadi symbol nonverbal sampai dengan Bashir (Pemimpin acara/ritual) sebagai media komunikasi. Dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengetahui pesan komunikasi dalam ritual Balian. Cara paling efektif untuk melakukan transmisi budaya pada masyarakat Dayak di desa Malawaken adalah dengan melakukan pewarisan secara verbal di ikuti dengan penekanan gerakan nonverbal secara berulang.

Dalam konteks ini sebagai peneliti saya tertarik untuk mengetahui pesan komunikasi dalam ritual Balian. Maka rumusan masalah dalam penelitian kali ini adalah bagaimana stuktur dan makna pesan yang terdapat pada Ritual Balian Kalimantan Tengah, menurut Harnack & fest mengartikan komunikasi sebagai suatu proses ketika manusia berinteraksi untuk mencapai tujuan pengintegrasian baik antar individu dalam kelompok maupun diluar kelompok (fisher, 1978:11).

Pesan diartikan sebagai suatu informasi yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Dalam prosesi ini Bashir diposisikan sebagai sumber pesan dan bertugas menyampaikan pesan kepada masyarakat yang menghadiri ritual tersebut juga kepada leluhur melalui perantara doa, doa yang digunakan disini adalah doa yang berbasis pada agama Hindu Kharingan. Ritual ini sendiri merupakan sebuah kegiatan upacara yang mengandung unsur kesakralan.

Tipe penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Adapun pendekatan yang saya gunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi saya berusaha memahami arti perisitiwa dan kaitannya terhadap orang biasa dalam situasi tertentu. Waktu penelitian ini diadakan pada bulan juni-juli 2017, di desa Jingah-Malawaken Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah. Berdasarkan Teknik proposive sampling saya menemuan 6 orang sebagai sumber informasi yang sesuai dengan kriteria yang sebelumnya telah saya tentukan. Teknik analisis data yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah berproses secara induksi, interprestasi dan konseptualisasi. Pemeriksaan yang data yang digunakan adalah triangulasi. Berdasarkan sajian dan analisis data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya hingga pada akhirnya saya bisa menarik sebuah kesimpulan, saya dapat menarik kesimpulan bahwa ritual Balian itu sebenarnya merupakan sebuah bentuk dari komunikasi sosial.

Karena didalamnya terpenuhi unsur pesan, pendengar dan juga pembicara. Hal ini bagi saya sangat terbukti dari keberadaan ritual Balian itu sendiri. Ritual Balian merupakan salah satu budaya adat yang turun-temurun dari nenek moyang masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yang masih dipegang oleh masyarakat dan dari zaman ke zaman tak lekang oleh waktu juga oleh arus globalisasi yang menerpa. Dalam usaha pelestariannya, hal tersebut merupakan sebuah bentuk dari pembentukan konsep diri, aktualisasi diri, serta melepas ketegangan. Pesan yang ada didalam arwah maupun dengan masyarakat sebagai pertanda bahwa di lingkungan mereka ada warga yang sedang dalam kondisi sakit.

Adapun dalam prosesi adat perkawinan pada masa sekarang masih identic dan sama dengan prosesi adat yang digunakan oleh masyarakat Dayak pada zaman dahulu, contohnya prosesi adat yang masih Nampak dan tidak lekang dimakan zaman adalah dalam prosesi pernikahan, yang saya ambil disini adalah pernikahan suku Dayak Maanyan. Pada fase pertama dalam pernikahan adat Dayak dimuat beberapa tahapan yaitu:

                                                                  


1. Ijari adalah mempelai sepakat melanjutkan kejenjang pernikahan tanpa diketahui oleh kedua orang tua masing-masing. Kedua pasangan calon pengantin mengunjungi tokoh adat atau pengurus agama lalu menyertakan pernyataan tertulis yang isinya sepakat untuk menikah disertai barang bukti yang menguatkan pernyataan biasanya diatas materai 6000. Setelah itu tokoh adat atau tokoh agama memanggil kedua orang tua atau ahli waris kedua belah pihak untuk perencanaan kapan dan bagaimana perkawinan anak-anak mereka dilaksanakan. Pertemuan tersebut pun menghasilkan surat pertunangan yang kelak digunakan sebagai bukti resmi saat pernikahan dilaksanakan.

2. Paminangan acara prosesi dimana terjadi pembuatan surat pertunangan yang mencantumkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak termasuk mencatat pula semua barang bukti paminangan dan tata cara/hukum adat perkawinan. Setelah itu biasanya hasil kesepakatan itu akan menghasilkan perkawinan jenis apa yang dilaksanakan yakni menyesuaikan kemampuan kedua belah pihak.

3. Singkup Paurang Hang Dapur, perkawinan resmi ini hanya dihadiri oleh beberapa orang Mantir tokoh adat dan ahli waris kedua pengantin. Dalam tata cara ini ada hukum adat yang mengatur. Yakni berupa keagungan Mantir, Kabanaran pamania, pemakaian tutup huban (kalau ada), kalar, taliwakas, tulus tajak dan pilas saki tetap dilaksanakan. Dalam adat sukku Dayak Maanyan perkawinan Singkup Paurang Hang Dapur ini kedua belah mempelai bisa hidup Bersama dengan secara sah agama dahulu (Kaharingan). Meski secara negara tidak diakui namun secara adat istiadat mereka dinyatakan sah oleh Mantir adat dan oleh masyarakat.

4. Adu Bakal, pada pernikahan resmi ini pengantin diapit oleh rekan masing-masing mempelai, perempuan mendampingi pengantin perempuan, laki-laki mendampingi penganting laki-laki. Setelah upacara perkawinan ada ketentuan yang disebut “Pengasianan” asal kata kasihanan yang artinya mertua.

5. Acara Pengasianan bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian mertua dengan menantu dan lingkungan yang baru. Dalam perkawinan ini ada hukum Layung ume petan gantung, biasanya dalam prosesi ini contohnya minggu ini di rumah perempuan maka minggu depan berada di rumah sang pria.

6. Adu Hante (perkawinan besar-besaran) pada tata cara ini perkawinan diadakan secara meriah dengan acara “Wurung Jue” dan “I gunung perak”. Tata cara perkawinan ini disertai upacara Balian, 2 malam untuk memberi restu, mendoakan agar menjadi pasangan yang berhasil. Kedua pengantin biasanya bersanding diatas gong yang dilapis 9 susun kain dan diapit 9 orang pemuda laki-laki dan perempuan. Setelah prosesi pernikahan secara adat Maayan selesai maka dilanjutkan lagi dengan perkawinan sah secara agama dan negara. Untuk yang muslim ke KUA dan Nasrani ke gereja melakukan pemberkatan nikah dan catatan sipil. Prosesi pernikahan adat ini paling sering dilaksanakan, hanya saja untuk prosesi adat seperti duduk di pelaminan gong dan Balian tidak pernah dilaksanakan lagi. Yang masih tetap dilaksanakan sebagiannya saja seperti natas banyang (potong pantan), turus tajak, iwurung jue, dan tutup uban jika ada.

Filsafah Huma Betang pada masa sekarang tidak hanya berupa sebuah kesepakatan kosong tetapi juga dapat dirasakan kehadirannya dan bukti nyatanya.  Di Kalimantan Tengah sendir ada 8 suku yang mendiami bumi Tambun Bungai mulai dari Ngaju sebagai suku dengan subetnis terbesar yang mendiami Kalimantan Tengah, Bakumpai, Maayan, Ot Danum, Siang Murung, Taboyan, Lawang dan Dusun. Suku-suku ini pada zaman dahulu rata-rata mendiami tepian aliran sungai, karena kita mengetahui betapa penting nya air bagi manusia, bukan hanya untuk minum tetapi juga mandi, cuci dan menggantungkan hidupnya diatas sungai.

Bukan hanya kental akan kebersamaan dan juga toleransi antar umat beragamanya yang dijunjung oleh masyarakat Kalimantan Tengah namun juga kerukunan antar suku-suku yang ada didalamnya. Seperti yang kita tahu berdasarkan sensus yang dilakukan BPS pada tahun 2010 yang lalu ada lebih dari 1340 suku bangsa yang ada di negeri kita. seperti yang dikatakan oleh bung Hatta “Jatuh bangunnya negeri ini, sangat bergantung pada bangsa ini sendiri. Maka pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama seuntai pulai di peta” dengan kata lain percuma jika ditengah-tenga keberagaman yang ada kita tidak bisa bersatu dan maju Bersama-sama.

Kesimpulan dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Falsafah Huma Betang adalah suatu gagasan yang dibentuk dengan tujuan tata cara hidup masyarakat yang ada dengan berlandasankan pada 4 pilar Falsafah Huma Betang yaitu; kebersamaan, kerukunan, taat hukum dan agama. Falsafah ini pada masa sekarang masih sangat berguna dan masih menjadi pedoman masyarakat dalam hidup sehari-hari baik itu dalam proses komunikasi verbal (bahasa daerah) maupun suatu bentuk tindakan nonverbal (Balian/prosesi pernikahan). Semoga jurnal ini membantu dan bermanfaat, mohon maaf atas penulisan dan jika terjadi salah kata/salah penulisan saya mohon maaf.

Komentar

Postingan Populer